Thursday, December 27, 2007

Kisah Ibnu Mughafal dan Keponakannya

Suatu hari seorang anak kecil keponakan Abdullah bin Mughafal ra. Sedang bermain ketapel. Melihat hal itu Ibnu Mughafal berkata,” Wahai keponakanku, jangan bermain itu!, karena Rosululloh bersabda,’ ketapel itu tidak memberikan keuntungan sedikitpun, tidak dapat digunkan untuk berburu, tidak bisa untuk mengalahkan musuh, malah bias mencederai mata, atau mematahkan gigi.” Keponakannya itu pun berhenti bermain ketapel. Tetapi ketika ia tidak dilihat oleh pamannya ia bermain ketapel lagi.
Ketika Ibnu Mughafal mengetahui hal itu, ia berkata,”aku sudah sampaikan kepadamu sabda Rasululloh SAW. Tetapi kamu masih bermain-main dengannya. Demi Allah, aku tidak akan berbicara denganmu lagi.” Dalam riwayat lain,ia berkata ,”Demi Allah, aku tidak akan menyertai jenazahmu, dan tidak akan menjengukmu.” (ibnu majah – Daromi )
Faedah : Ketapel adalah alat permainan yang menggunkan batu kerikil di ujung karetnya, lalu ditarik dengan jari-jari dan dilepaskan. Pada umumnya anak-anak menggemari permainan ini. Tetapi alat ini tidak dapat digunkan untuk berburu, bahkan secar tidak sengaja dapat melukai mata. Abdullah bin Mughafal ra tidak tahan lagi apabila keponakannya tidak emnghiraukan sabda-sabda Nabi saw. Sehingga beliau mengancam tidak akan berbicara lagi dengannya.

Tauhid dan Rezeki

Pukul lima sore sudah lama berlalu. Maghrib memang masih belum waktunya. Sang artis terkenal itu bergegas menunaikan sholat Ashar. Ada perasaan bersalah yang susah payah ditepisnya. Tapi mau bagaimana lagi? Jadualnya memang padat.

Usai sholat, dia berniat berdoa. Bukan karena ada permohonan khusus, melainkan karena kebiasaan atau refeks saja. Namun ada SMS masuk ke telepon selulernya. Dari managernya. Ada order gede, dan dia diminta segera menemui si Bos. Sekarang, karena tidak ada waktu lagi, dan si Bos sangat sibuk. Sang artis dengan cepat memutuskan untuk membatalkan doanya, menuju kendaraan, dan memacunya. Ia tahu maghrib sudah menjelang. Namun ia memutuskan untuk ‘lihat bagaimana nantilah!’

Di perjalanan, adzan berkumandang. Nuraninya pun menyapa lembut, namun gelisah. Begitu tinggikah penghargaannya kepada si Bos? Sebegitu tingginya sehingga mengalahkan penghargaannya kepada Sang Pemberi Rizki? Demikian gugat sang nurani. Perasaan bersalah mengaliri seluruh jiwanya. Ia tahu, ia harus berubah. Ia juga tahu, ia tidak boleh menunda. Akhirnya ia putuskan, jika bertemu Masjid terdekat ia akan berhenti. Bagaimana janji bertemu si Bos? Biarlah Allah yang mengurus rizkinya. Demikian pikir Sang Artis.

Sang Artis menuturkan pengalaman ini kepada saya, yang mendengarkan dengan ta’zim. Sebenarnya Saya jarang bertemu artis manapun, apalagi artis papan atas. Di sisi lain, Saya sendiri memang tidak pernah berkeinginan untuk bertemu artis manapun.

Namun artis yang satu ini memang berbeda. Ia memiliki semangat untuk membantu syiar keIslaman. Walaupun belum sepenuhnya lepas dari kehidupan glamour, namun keinginannya untuk berbuat sesuatu terhadap Islam memancing simpati Saya.

Akhirnya mereka bertemu. Sang artis bersedia memberikan sedikit tausyiah untuk remaja, dengan bayaran yang nyaris gratis untuk ukuran seorang artis. Dan Sang artis pun menceritakan salah satu pengalaman rohaninya, sebagaimana dikisahkan di awal tulisan ini.

* * * * *

“Sebenarnya kisah Artis tadi adalah salah satu pelajaran tentang ketauhidan”, demikian kata salah seorang Ustadz di Masjid tempat saya tinggal.

“Tauhid? Apakah benar sedalam itu, Ustadz?” tanya saya keheranan.

“Ya, cerita tadi memang kecil dan sederhana, namun hakikatnya sungguh dalam. Cerita tadi adalah salah satu fragment tentang ketauhidan. Betapa tidak. Teori tauhid memang mengajarkan kita untuk meyakini bahwa hanya Allah Yang Maha Pemberi Rizki. Namun implementasi tauhid kita sering kali jauh dari itu.

“Kita masih lebih sering ‘memohon’ kepada atasan atau manusia-manusia lain yang kita anggap dapat mengalirkan rizki kepada kita. Kita juga lebih takut kepada mereka. Juga lebih berharap. Di mata kita, mereka sangat berwibawa dan sangat patut dihormati.

“Untuk itu, kadang-kadang kita rela mengorbankan hal-hal yang sebenarnya prinsip. Menggeser-geser, bahkan meninggalkan sholat, hanya karena harus mengejar deadline tugas yang diberikan oleh si Bos, adalah contoh sederhana namun sering kita temui sehari-hari”, demikian urai Sang Ustadz.

“Gejala lainnya adalah kita jadi sering malas berdoa, karena rasanya ‘kurang konkret’. Jauh lebih konkret bekerja dan ‘memohon’ kepada orang-orang yang ‘memberi’ rizki kepada kita.

“Sholat kita pun jadi kering. Kita tidak sungguh-sungguh merasakan kehadiran Allah di hadapan kita. Karena sebelum sholat kita tidak mempersiapkan jiwa untuk memohon dan meminta. Kita tidak menyiapkan proposal apapun ketika menghadap kepadaNya. Kenapa? Karena kita memang tidak sungguh-sungguh merasa menghadap kepadaNya.

“Bandingkan ketika kita membuat proposal fund raising atau pengumpulan dana kepada donatur atau sponsor. Kita menyiapkan segalanya dengan begitu rapih dan detail. Juga apik dan indah. Itu semua kita lakukan karena besarnya harapan kita terhadap pertolongan calon donatur atau sponsor tersebut. ” Sang Usatdz menjelaskan panjang lebar.

“Kadang-kadang, ketika kantor kita melakukan praktek kecurangan, loyalitas kita kepada kantor atau perusahaan tempat kita bekerja lebih kuat dari pada kepada Allah. ” Tandas Sang Ustadz.

Saya dan beberapa jama’ah lainnya manggut-manggut.

“Tapi bukankah Islam mengajarkan kita untuk bekerja profesional dan sungguh-sungguh?” Salah seorang jamaah mencoba mengklarifikasi.

“Betul sekali. Profesional berarti bekerja sesuai standar dan etika profesi yang bersangkutan. Jika profesinya dokter, bekerjalah sesuai standar dan etika kedokteran. Demikian pula arsitek, teknisi, IT, guru, bahkan mungkin da’i. Dan setahu saya, tak satu profesi pun yang mengajarkan kecurangan dan ketidaketisan”, demikian penjelasan Sang Ustadz.

“Kadang-kadang, saya sengaja menunda waktu sholat, karena pekerjaan belum selesai. Saya merasa lebih profesional jika pekerjaan sudah selesai, baru mengerjakan sholat”, orang tadi masih mencoba menjelaskan argumentasinya.

Sang Ustadz tersenyum. Kemudian menjawab dengan tenang, “Sebenarnya memang tergantung profesinya. Kalau profesi Anda adalah seorang dokter, apalagi dokter bedah, memang tidak bijaksana meninggalkan pasien dengan luka menganga. Walaupun sedapat mungkin kita menjadualkan pembedahan dengan perkiraan tidak melampaui waktu sholat. Namun terkadang hal itu memang sulit dilakukan.

“Ada pula profesi pemadam kebakaran, juga polisi yang sedang dalam operasi menangkap pelaku tindak kriminal. Namun itu semua adalah profesi khusus, sehingga memang perlu perlakuan khusus. Sedangkan yang saya maksud dalam penjelasan di atas adalah profesi yang umum, yaitu orang-orang dengan jadual kerja yang teratur. Jam masuk kantornya jelas, jam istirahatnya pasti, begitu pula jam pulangnya. ”

“Ustadz, adakah contoh lain selain menunda-nunda sholat?” Tanya jama’ah yang lain.

“Ada. Misalnya, enggan membayar zakat, apalagi infaq. Kita tahu, zakat itu sudah jelas ukurannya. Sedangkan infaq itu bebas besarnya. Nah, karena begitu takutnya kita akan kekurangan rizki, kita malas mengeluarkan zakat dan infaq. Tanda bahwa kita malas adalah kita ketika kita tidak menyediakan anggaran khusus atau rutin untuk kedua pos itu.

“Kita tidak begitu yakin dengan janji Allah, bahwa DIA akan mencukupi seluruh kebutuhan kita. Kita takut miskin karena berinfaq.

“Jadi, semuanya kembali berakar kepada ketauhidan”, jelas Sang Ustadz.

“Nah, mulai sekarang, bersegeralah setiap kali ada SMS atau calling dari Allah, ” demikian Sang Ustadz mengakhiri penjelasannya, sambil tersenyum.[eramuslim.com]

Masuk Islamnya Abu Bakar Ash-Shiddiq RA

Written by Administrator MTA-online
Abu Bakar RA adalah seorang lelaki merdeka dan hartawan besar yang pertama kali beriman kepada Nabi Muhammad SAW dan seruannya. Dan Nabi SAW sendiri pernah bersabda : “ Tidaklah saya mengajak kepada islam melainkan ada padanya maju mundurya, kecuali Abu Bakar “ Maksudnya : NAbi SAW. Ketika mengajak seseornag untuk megikuti Islam, mesti orang itu ada keraguan kecuali Abu Bakar RA. Beliau ketika mengikut Islam adalah dengan keinsyafan dan keyakinan sendiri, tidak ada rasa bimbang atau ragu sedikitpun.
Diriwayatkan : pada suatu hari sahabat Abu Bakar RA dan Nabi SAW serta para pengikut beliau ( kaum muslimin ) pergi ke masjid. Setelah mereka duduk bersama di masjid. Abu baker mohon izin kepada Nabi SAW untuk berdiri di tengah masjid dan dan berseru kepada kaum musyrikin Quraiys agar mereka sadar dan mau menerima seruan ALLAH dan Rosul-Nya. Di kala itu Nabi SAW menjawab : “kita masih sedikit, hai sahabatku ! Kita masih sedikit hai Abu Bakar!” Berkali-kali beliau mengatakan demikian kepada Abu Bakar RA. Kemudian Abu Bakar berdiri di tengah-tengah masjid, lantas berpidato dangan suara keras menyeru kepada kaum musyrikin Quraiys supaya mengikuti seruan Alah dan Rosul-Nya, sedangkan Nabi SAW di kala itu tetap duduk bersama-sama dengan kaum Muslimin. Setelah orang-orang Quraiys mendengar seruan Abu Bakar tersebut, mereka lalu dating mengeroyoknya, mereka terus-menerus memukulinya. Dan akhirnya Abu Bakar tidak kuat menolak dan menahan pukulan-pukulan mereka sehingga beliau jatuh. Ketika beliau mencoba untuk melarikan diri, dengan segera beliau ditangkap oleh ‘Utbah bin Rabi’ah seorang pemuka kaum musyrikin Quraiys, lalu beliau dibanting sehingga jatuh lagi, lalu diinjak-injaknya dengan sandalnya. Tiba tiba pada saat itu datanglah sekelompok orang dari keturunan keluarga Taimy yang masih musyrik juga. Kedatangan mereka itu sengaja hendak menolong beliau. Dengan segera mereka mencegah kaum musyrikin Quraiys memukuli Abu Bakar. Lantaran itu terlepaslah beliau dari penganiayaan kaum musyrikin Quraiys yang sangat kejam itu. Kemudian beliau dibawa pulang oleh sekelompok orang dari keturunan Taimy tersebut ke rumah Abu Quhafah, ayah beliau. Setelah itu mereka lalu kembali ke masjid untuk menemui kaum musyrikin yang telah memukuli Abu Bakar, dan di antara mereka ada yang berkata: “ Demi Allah! Jika sekiranya Abu Bakar mati terbunuh olehmu, kamu harus membunuh ‘Utbah sebagai balasan kami kepadamu”. Kemudian mereka kembali lagi ke rumah Abu Quhafah, untuk menengok keadaan Abu Bakar, adakah beliau sampai tewas atau tidak. Di situ mereka bercakap-cakap dengan ayah dan ibu beliau. Dan keduanya sangat berduka cita, karena melihat Abu Bakar banyak mendapat luka. Denagn takdir Allah tidak lama kemudian, Abu Bakar sembuh dari luka-luka itu dan beliau sehat kembali. Selama dalam keadaan sakit itu, beliau selalu menanyakan keadaan diri Nabi SAW. Maka setelah dia sehat kembali, segeralah ia bersama-sama dengan ibunya pergi ke rumah Nabi SAW karena khawatir kalau-kalau diri Nabi SAW juga dianiaya sebagaimana dia sendiri. Demikianlah cinta kasih Abu BakarRA kepada Nabi SAW. Dan ketika Abu Bakar sampai di rumah Nabi SAW maka dipeluklah ia oleh Nabi SAW. Dan pada waktu itu juga ibunya Abu Bakar menyatakan beriman dan mengikut seruan NAbi SAW dengan ikhlas.

HIKMAH IBADAH QURBAN

Written by Al Ustadz Drs. Ahmad Sukina Ketua Umum MTA Umat Islam seluruh dunia dalam beberapa hari mendatang akan merayakan hari Iedul-Qurban. Para jama'ah haji sibuk dengan ritual melempar Jamarat setelah sehari sebelumnya wuquf di padang Arafah. Pada saat para jama'ah haji wuquf di padang Arafah, mereka yang tidak berkesempatan untuk menunaikan ibadah haji disunnahkan untuk melaksanakan puasa sehari di hari Arafah (9 Dzulhijjah) dan menyembelih hewan qurban pada Iedul-Qurban (10 Dzulhijjah).

Ibadah qurban pada hakekatnya mengikuti sunnah keluarga besar nabi Ibrahim as keluarga tauhid yang lurus yang telah memberikan contoh sempurna dalam menghambakan diri kepada Allah. Ada beberapa hikmah keteladan yang perlu kita fahami. Yang pertama dari Hajar, istri nabi Ibrahim, kita dapat belajar keikhlasannya dalam mengorbankan putra satu-satunya yang tercinta, setelah sekian lama bersusah payah dalam mengandung dan melahirkan, dilanjutkan dengan berbagai kesusahan untuk mempertahankan hidup putranya yang ditinggal suaminya di tengah padang pasir yang kering kerontang. Ibu mana yang hidup di jaman modern ini yang akan merelakan anaknya disembelih suaminya yang katanya atas perintah Allah. Hajar, yang karena keimanannya yakin betul bahwa suaminya tidak akan menyalahi perintah Allah, merelakan anaknya disembelih untuk memenuhi seruan Allah. Keikhlasan Hajar dalam mengorbankan putranya dapat dijadikan teladan bagi para ibu dalam menumbuhkan jiwa berkorban.

Dari Isma'il sendiri kita dapat belajar bagaimana seorang anak muda karena keimanannya rela mengorbankan nyawanya karena Allah. Ketika ayahnya menyampaikan kepadanya perintah Allah untuk menyembelihnya, Isma'il menjawab (QS 37: 102): Ya abatif'al ma tu'maru satajiduni insya Allahu minashshabirin. ("Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".) Subhanallah, andaikan perintah itu disampaikan kepada anak muda jaman sekarang mungkin ayahnya sudah dituduh gila. Bahkan bukan tidak mungkin ayahnya terlebih dahulu akan dibunuh oleh anaknya. Hanya orang-orang yang mempunyai keimanan dengan landasan tauhid yang kuat yang rela mengorbankan nyawanya karena Allah. Sikap seperti inilah yang mestinya diteladani oleh setiap orang beriman.

Nabi Ibrahim as, nabi yang terkenal karena kelurusan tauhid dan kecerdasan akalnya, telah membenarkan perintah Allah untuk menyembelih anaknya. Dia tidak pernah mempersoalkan perintah yang nampak tidak masuk akal itu dan tidak pernah meragukannya. Dia korbankan kecerdasan akalnya untuk mendahulukan perintah Allah. Di jaman modern manusia terjebak kepada pendewaan akal. Sains dan teknologi seolah muncul sebagai kekuatan baru yang dipertuhan. Padahal semua itu adalah makhluk Allah. Allah telah menciptakan sunnatullah yang memungkinkan manusia untuk mengembangkan sains dan teknologi. Manusia mestinya memanfaatkan akal, sains dan teknologi untuk menghambakan diri kepada Allah. Bukan justru sebaliknya berbuat syirik, menuhankan akal, sains dan teknologi disamping Allah. Sikap nabi Ibrahim as yang mendahulukan wahyu dari pada akal tersebut tetap relevan untuk dijadikan teladan dalam kehidupan di abad modern ini.

Qurban yang kita laksanakan selama ini yakni dengan menyembelih hewan qurban dan membagikannya kepada keluarga, orang-orang fakir dan orang-orang yang meminta lebih bermakna simbolis. Besar qurban yang kita keluarkan tidak seberapa jika dibandingkan dengan pengurbanan yang dilakukan oleh keluarga besar nabi Ibrahim as. Dengan memahami ilmu dan mengikuti keteladannya kita berharap untuk dapat mewarisi sikap mendahulukan Allah dari pada yang lain. Disamping itu dengan melaksanakan ibadah qurban ini diharapkan akan tumbuh jiwa kedermawanan dalam diri setiap orang yang berqurban. Kedermawanan ini sangat peting dalam mendukung kesuksesan dakwah Islam. Maka pantas kalau Rasulullah saw bersabda bahwa tidak ada amal anak Adam yang paling disukai Allah pada hari raya qurban selain daripada menyembelih qurban. (HR Ibnu Majah dan Tirmidzi) Mari kita berqurban dan meluruskan niat dalam berqurban.

Ah, Itu Kan Cuma Dosa Kecil!

“Ah, itu kan cuma dosa kecil, Mas!”

Ungkapan seperti ini sering terdengar. Entah di lingkungan sekitar rumah, di warung-warung, atau di kalangan pekerja kantoran. Apa yang mereka sebut dosa kecil? Menurut pengalaman saya, gurauan atau candaan yang menyerempet porno sering dianggap hal kecil, dan bumbu dalam pergaulan. Selain itu, yang juga cukup sering dianggap enteng adalah gosip, entah ghibah ataupun namimah.

Sebenarnya, apakah ukuran suatu dosa itu dianggap kecil atau besar? Saya mendiskusikan hal itu dengan jamaah Masjid di dekat rumah.

Salah seorang jamaah menjawab dengan membacakan hadist berikut: “Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, Shalat lima waktu, dari (shalat) Jumat ke (shalat) Jumat yang lain dan dari (puasa) Ramadhan ke (puasa) Ramadhan yang lain adalah penghapus dosa-dosa kecil di antara waktu-waktu tersebut selama tidak melakukan dosa besar” (HR Muslim no. 233).

Ada pula firmanNya, yang berarti, "(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil" (QS: An Najm: 32).

“Jadi, intinya, ” lanjut salah satu jamaah tadi, “Allah dan RasulNya sendiri yang sudah melakukan pembagian dosa besar dan dosa kecil ini. ”

“Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dosa besar adalah setiap dosa yang diancam dengan siksa khusus seperti berzina, mencuri, durhaka kepada kedua orangtua, menipu, bersikap jahat kepada kaum muslimin dan lainnya”

“Lalu, bagaimana dengan dosa kecil?” Tanya saya.

Jamaah yang lain menjawab, “Dosa jenis ini terjadi karena sulit bagi kita untuk menghindarinya. Terkadang kita melakukannya pun tanpa sadar. Misalnya, ketika harus berdesak-desakkan di bus atau Kereta, dan tanpa sengaja harus bersentuhan dengan lawan jenis. Kata kunci di sini adalah tanpa sengaja. ”

“Bagaimana kalau sengaja?” Tanya jamaah lainnya, “Apakah masih bisa dianggap dosa kecil?”

Ada yang menjawab, “Para ulama, tentu berdasarkan dalil-dalil, sepakat bahwa besar kecilnya dosa pada dasarnya ditentukan bukan semata-mata dari jenis pekerjaannya. Di sini berlaku ungkapan, bahwa tidak ada dosa kecil selama si pelaku mengangagap remeh dosa tersebut.

“Misalnya seorang laki-laki memandang wanita dan ini adalah zina mata, namun zina mata lebih kecil dari zina kemaluan. Tapi dengan melakukannya terus-menerus maka dia akan menjadi besar. Sebab tidak ada dosa kecil kalau dilakukan terus-menerus, sebagaimana dikatakan seorang salaf: 'Tidak ada yang namanya dosa kecil kalau dilakukan terus-menerus dan tidak ada dosa besar apabila diiringi dengan taubat."

“Dosa kecil pun dapat menjadi besar jika si pelaku justru merasa bangga dengan kelakuannya tersebut. Perasaan bangga gembira dan senang terhadap dosa, menjadikan dosa tersebut menjadi besar. Ketika rasa senang kepada dosa kecil sudah mendominasi diri seseorang, maka menjadi besarlah dosa kecil tersebut, dan besar pula pengaruhnya untuk menghitamkan hatinya. Sampai-sampai ada yang merasa bangga karena bisa melakukan sebuah dosa, padahal kegembiran pada sebuah dosa lebih besar dari dosa itu sendiri. Allah SWT berfirman:

Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. 24:19)

“Misalnya seperi orang yang berkata: Tidakkah kamu tahu bagaiman aku membuntuti fulan dan berhasil melihatnya atau ucapan-ucapan dan perbuatan lainnya yang menunjukkan sikap bangga dan senang atas perbuatan dosa. Maka semua itu menjadikan dosa yang semula kecil menjadi besar.

“Sikap santainya dalam melakukan dosa, tidak adanya rasa takut kepada Allah SWT dan pengawasan-Nya. Perasaan aman dari siksa Allah SWT adalah gambaran dari menyepelekan tabir Allah SWT. Dia tidak sadar bahwa perbuatannya itu mendatangkan murka Allah SWT. Ibnu Abbas r. A. Berkata: Wahai orang yang berdosa, jangan merasa aman dari akibat buruknya. Tatkala suatu dosa diikuti oleh sesuatu yang lebih besar dari dosa, jika kamu melakukan dosa, tanpa merasa malu terhadap pengawas yang ada di kanan kirimu, maka kamu berdosa, dan menyepelekan dosa itu lebih besar dari dosa itu sendiri, …, kegembiraanmu dengan dosa ketika kamu sudah melakukannya, itu lebih besar dari dosa itu sendiri, kesedihanmu atas suatu dosa ketika ia lepas darimu (tidak dapat melaksanakannya), maka itu lebih besar dari dosa itu sendiri. Kekhawatiranmu terhadap angin ketika ia menggerakkan daun pintumu pada saat kamu sedang melakukan dosa serta hatimu tidak pernah risau dengan pengawasan Allah SWT kepadamu, maka itu lebih besar dari dosa itu sendiri."

Saya dan jamaah lainnya mengangguk-angguk. Penjelasan tersebut sudah cukup panjang. Namun ternyata masih ada kelanjutannya.

“Contoh lainnya adalah seseorang yang melakukan dosa dengan terang-terangan di depan umum atau dengan menceritakannya kepada orang lain padahal jika ia tidak menceritakannya orang lain tidak ada yang tahu, kecuali dia dengan Rabbnya. Dengan sikap ini berarti ia telah mengundang hasrat orang lain untuk melakukan dosa tersebut dan secara tidak langsung ia telah mengajak orang lain untuk ikut melakukannya. Dalam hal ini ia telah melakukan dua hal sekaligus yaitu dosa itu sendiri ditambah mujaharahnya, sehingga dosanya pun menjadi besar.

Rasulullah SAW bersabda, "Setiap umatku dapat diampuni dosa-dosanya kecuali orang yang mengekspos dosa-nya. Contoh dari mengekspos dosa adalah seorang yang melakukan dosa di malam hari, kemudian pada pagi harinya, padahal Allah SWT telah menutupi dosanya, ia mengatakan: Wahai fulan, tadi malam saya telah melakukan demikian dan demikian. Di malam hari Allah SWT telah menutupi perbuatan dosanya, namun di pagi harinya justru ia sendiri yang menyiarkannya." (HR: Bukhari 5721, Baihaqi 17373, Dailami 4795)

Semua akhirnya terdiam. Mereka sibuk menghitung jejak dosa masing-masing. Jejak dosa yang menyebabkan mereka terhijab dari Allah.

Allah, yang sesungguhnya dekat, jadi terasa jauh, karena terhijab oleh kesalahan dan kelalaian kita sendiri. [eramuslim.com]

Ratusan Ulama Sampaikan "Pesan" Natal Pada Umat Kristiani

Menjelang hari Natal, 138 ulama Muslim kembali menandatangani pernyataan bersama yang dikirimkan ke para pemuka agama Kristen di seluruh dunia, termasuk pemimpin tertinggi umat Katolik Paus Benediktus XVI.

Dalam pernyataan itu, mereka menyampaikan ucapan selamat merayakan hari Natal dan rasa terima kasih mereka karena kalangan pemuka Kristen telah memberikan respon positif atas surat terbuka mereka pertama, yang kirim pada Oktober lalu.

Dalam surat terbuka tersebut, para ulama Muslim menawarkan dialog atas berbagai persamaan yang terdapat dalam ajaran Islam dan Kristen, guna menjembatani jurang pemisah antara pemeluk kedua agama tersebut.

Financial Times edisi Sabtu (22/12) mengutip pernyataan Profesor Aref Ali Nayed-salah seorang yang ikut menandatangani pernyataan tersebut-yang mengatakan, "Untuk pertama kalinya, ulama Muslim dalam jumlah yang cukup besar dan berasal dari berbagai lembaga pendidikan mengucapkan selamat hari Natal bagi umat Kristiani. "

Menurut Nayed, media massa selama ini selalu memfokuskan liputannya pada masalah ekstrimis dan melupakan pesan toleransi serta perdamaian yang diajarkan dalam Islam. "Ini mengakibatkan munculnya gambaran Islam yang diselewengkan dan diputarbalikkan, " ujarnya.

Di antara ulama yang ikut menandatangani pernyataan itu adalah Mufti Mesir Ali Gomaa dan Mufti al-Quds Syaikh Ikrima Sabri, serta Sekjen Organisasi Konferensi Islam Ekmeleddin Ihsanoglu.

Pemuka Kristen menyambut positif sikap ratusan ulama Muslim ini. Jean-Louis Tauran, kepala dewan dialog antar agama kepausan Vatikan pada Financial Times menyatakan, hal ini merupakan langkah maju dari dialog yang sedang diupayakan antara keduabelah pihak, Islam dan Kristen. Menurut Tauran, pertemuan untuk persiapan dialog antara kedua keyakinan ini akan dilakukan pada musim semi yang akan datang.

Sementara itu, seorang pakar teologi Miroslav Volf menilai langkah yang dilakukan 138 ulama Muslim itu sebagai pertanda bahwa ada keinginan untuk meredakan ketegangan antara umat Islam dan Kristen setelah pernyataan Paus Benediktus beberapa waktu lalu yang mengatakan bahwa Islam adalah agama kekerasan.

Namun menurut Nayed yang pernah mengajar di Universitas Gregorian, Vatikan, sejumlah penasehat yang dekat dengan Paus ikut berperan memicu ketegangan antara kalangan Muslim dan Kristiani. "Dampak negatifnya sangat berbahaya dan membawa Vatikan untuk melakukan kesalahan yang berbahaya pula, " tukasnya. (ln/iol)

Umat Kristen: Bukan Hamas, Tapi Israel yang Merusak Semangat Natal di Ghaza

Umat Kristen di Jalur Ghaza mengungkapkan kebahagiannya, meski Jalur Ghaza kini dikuasai penuh oleh Hamas, mereka bisa merayakan natal dengan damai, tanpa adanya tekanan maupun tindakan diskriminatif dari kelompok Hamas.

Warga Kristen di Ghaza, bahkan menyatakan tidak menggelar perayaan natal yang berlebihan sebagai bentuk solidaritas mereka terhadap warga Muslim di Ghaza yang sedang mengalami penindasan baik dari dunia internasional maupun dari pemerintahan otoritas Palestina sendiri.

"Saya bisa saja meminta izin pada Perdana Menteri Ismail Haniyah untuk menggelar perayaan natal yang meriah dan meminta menteri dalam negeri untuk memberikan bantuan pengamanan, tapi kami memutuskan untuk tidak melakukan itu, " kata Monsignor (gelar untuk pendeta Katolik Roma-red) Manuel Mussalam, ketua komunitas Katolik Roma di Ghaza.

Mussalam justru mengungkapkan kesedihannya atas agresi yang dilakukan pasukan militer Zionis Israel ke Ghaza, yang telah mengganggu kekhidmatan perayaan natal umat Kristiani di wilayah itu.

"Setiap ada yang meninggal dunia, terluka dan menjadi tawanan Israel. Pada hari raya Idul Adha, warga Muslim banyak yang menjadi martir dan ini sangat menyedihkan, kami tidak bisa mengabaikan bagaimana sedihnya perasaan mereka, " kata Mussalam prihatin.

"Kegembiraan warga Muslim, kegembiraan kami juga. Kesedihan mereka, kesedihan kami juga. Kami mengalami krisis yang sama dan kami punya tujuan yang sama, " sambungnya.

Mussalam mengungkapkan, seorang menteri asal Hamas, Dr Basem Na'eem adalah orang pertama yang menyampaikan ucapan selamat padanya dan warga Kristen di Ghaza pada hari Natal.

"Kami betul-betul merasakan kebebasan beribadah di bawah pemerintahan Hamas. Saya tidak pernah menerima keluhan apa pun dari umat Kristiani di Ghaza, tentang pemerintahan Hamas, " tambah Monsignor Mussalam.

Pernyataan Mussalam dibenarkan oleh Attala, warga Kristen di Ghaza yang berprofesi sebagai dokter. "Kami tidak punya masalah karena Hamas. Kami merasakan persaudaraan dan toleransi antar umat beragama di sini, di Ghaza, " tukas Attala.

Warga Kristen lainnya, Simon Tarazi juga menyatakan bahwa ia tidak pernah mengalami perlakuan diskriminatif dari orang-orang Hamas. "Saya tidak pernah merasa diganggu atau dilecehkan oleh warga Muslim, " ujar Tarazi.

Sementara itu, Basem Ayyad mengaku kehidupannya lebih baik di bawah pemerintahan Hamas. Ayyad masih ingat bagaimana otoritas Hamas membantunya membayarkan uang yang ia pinjam dari seseorang.

Meski demikian, umat Kristiani merasakan natal tahun ini kurang bersemangat karena situasi ekonomi yang lesu akibat embargo ekonomi Israel dan dunia internasional terhadap wilayah Ghaza.

Ibrahim Ajab, penjual hiasan natal di Ghaza mengaku barang dagangannya tidak begitu laku pada natal tahun ini. Sedangkan Attala yang berprofesi dokter mengeluhkan ketiadaan obat-obatan untuk para pasiennya di rumah sakit.

"Bagaiamana kami bisa merayakan natal disaat kami tidak mendapatkan obat-obatan untuk para pasien, dan banyak pasien yang tidak dizinkan berobat ke luar Ghaza, " tandas Attala.

Ia melanjutkan, "Sebagai umat Kristiani, kami tidak pernah bermasalah dengan Hamas. Sumber bencana sesungguhnya di sini (Ghaza) adalah penjajahan rejim Israel. "

Data Biro Statistik Palestina menyebutkan, jumlah warga Kristen di Ghaza sekitar 3. 000 orang dari 1, 5 juta total penduduk Ghaza. (ln/iol-eramuslim.com)

Thursday, October 04, 2007

Untuk Temanku ..........

Sobat..., pernahkah dirimu merasakan apa yang sedang kurasakan saat ini?

Rasa bersalah yang teramat sangat.

Jauh dari orang tua yang sekarang hanya tinggal berdua.

Tak ada lagi putera-puteri yang tersisa.

Semuanya berada dalam radius yang sangat jauh, menempuh episode kehidupan

masing-masing. Betapa sepinya mereka.

Sewaktu bayi, entah berapa kali kita mengganggu tidur nyenyak ayah yang

mungkin sangat kelelahan setelah seharian bekerja untuk memenuhi

kebutuhan kita. Mungkin juga kotoran kita ikut tertelan Ibu ketika kita

buang "pup" di saat ibu sedang makan. Ibu juga tidak peduli ketika

teman-temannya marah karena membatalkan acara yang sangat penting karena

tiba-tiba anaknya sakit. Kekhawatiran demi kekhawatiran tiada pernah henti

mengunjungi mereka setiap kali kita melangkah.

Beranjak dewasa, betapa tabahnya ayah dan Ibu menerima pembangkangan

demi pembangkangan yang kita lakukan. Mereka hanya bisa mengelus dada karena

teman-teman di luar sana lebih berarti daripada mereka. Jarang sekali

sekali kita mau menyisakan waktu untuk menyelami mimik wajah mereka yang

penuh kecemasan ketika kita pulang telat karena ayah dan ibu selalu

menyambut kita dengan senyum.

Sobat, pernahkah dirimu bangun tengah malam dan mendengar tangisan Ibu

dalam doanya seperti yang pernah aku dengar? Tangisan dan doa itulah

yang mengantar kesuksesan kita. Pernahkah kita tahu Ayah dan ibu terluka dan

mengiba kepada Allah agar kita jangan dilaknat, agar Allah mau mengampuni

kita dan memberikan kehidupan terbaik untuk kita?

Pernahkah kita berterimakasih ketika kita dapati ayah dan ibu berbicara

berbisik-bisik karena takut membangunkan kita yang tertidur kelelahan?

Pernahkah kita menghargai patah demi patah kata yang mereka susun sebaik

mungkin untuk meminta maaf karena mereka tidak sengaja memecahkan kristal

kecil hadiah ulang tahun dari teman kita?

Pernahkah kita menyesal karena lupa menyertakan mereka di dalam doa?

Ah, Sobat, betapa tak sebanding cinta dan pengorbanan mereka dengan

balasan kasih sayang yang kita berikan. Setelah dewasa dan bisa

"menghidupi" diri sendiri, kita masih bisa melenggang ringan meninggalkan

mereka (mereka ikhlas asal kita bahagia). Lalu?

Mungkinkah kita bisa seperti Ismail yang merelakan dirinya disembelih ayah

kandung demi menuruti perintah Allah? Atau seperti Musa yang dihanyutkan

ketika bayi?

Ternyata kita masih sangat jauh...

Lalu bakti seperti apakah yang bisa kita persembahkan?

Sobat, bantu aku agar optimis!

Ya, masih banyak waktu untuk mbahagiakan mereka.

Hal yang terkecil yang bisa kita lakukan adalah: tak mengatakan "tidak"

ketika mereka menyuruh atau menginginkan sesuatu (tentu saja bukan yang

bertentangan dengan agama) dan segera ambil alat komunikasi, hubungi mereka

saat ini juga, sapa mereka dengan hangat, pastikan nada suara kita bahagia!

Bahagiakan ayah, bahagiakan Ibu!

Mulai dari sekarang, selagi Allah masih memberi kesempatan.

Walau takkan pernah sebanding, doa-doa kitalah yang mereka harapkan menemani

di peristirahatan terakhir nanti.

Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami dan dosa kedua orang tua kami,

kasihilah mereka sebagaimana mereka mengasihi kami sedari kecil.

Jadikan kami termasuk anak-anak yang saleh ya Allah hingga doa-doa kami

termasuk doa-doa yang berkenan bagi Engkau. Amin.

Semua Adalah Pilihan

“Tak ada yang saya salahkan...,” suaranya mengambang, seakan datang dari negeri yang jauh. “Kecuali diri saya sendiri!”

Aku terdiam, tenang mendengarkan. Sementara mata kami melanglang buana, melahap semua keindahan ciptaan Ilahi yang terpampang hingga batas cakrawala. Punggung bukit yang berhias kerlap-kerlip lampu berwarna jingga, kemerahan, kebiruan, orange dan kuning itu membawa sensasi luar biasa bagi pupil mata.

“Kondisi yang harus saya jalani saat ini, adalah konsekuensi dari pilihan hidup saya sendiri,” suaranya terdengar lagi. Aku masih khusyuk memperhatikan, sambil menikmati udara senja pegunungan yang menyelusup ke seluruh pori-poriku. Sejuk menyegarkan. Kawasan puncak menjelang malam, indah nian.

“Ketika saya baru lulus kuliah dulu, sebenarnya saya sudah ditawari untuk menikah. Namun waktu itu tegas-tegas saya menolak dengan alasan saya mau bekerja dulu, mencoba mempersembahkan sedikit bakti bagi orang tua --yah, meskipun saya tahu itu semua tak akan pernah dapat membalas jasa mereka--. Juga karena saya merasa masih ada dalam diri saya yang harus dibenahi. Harus saya akui, saya adalah tipe seorang dengan jiwa yang selalu gelisah. Rasanya saat itu, saya belum siap untuk berumahtangga, karena masih begitu banyak yang ingin saya lakukan, bagi diri sendiri dan bagi orang lain,” sahabat saya tersenyum kecil, matanya tak lepas dari kejauhan.

“Dua tahun kemudian, kembali datang tawaran menikah. Kebetulan saat itu saya memang sudah mulai berpikir untuk menikah. Dari banyak tawaran yang datang, yang paling serius adalah seorang pemuda biasa, tetangga kampung. Sementara saat itu saya adalah seorang gadis muda dengan semangat keislaman yang sangat tinggi. Saya mensyaratkan dia harus mau ngaji dulu sebelum menikah dengan saya. Dia tak sanggup. 'Aku mencari istri, bukan mencari orang yang menyuruhku ngaji,' katanya. Sedang saya tetap berkeras pada syarat yang saya minta. Maka proses pun berhenti di langkah itu dan hidup pun kembali berjalan pada pilihan masing-masing. Perasaan saya biasa saja saat itu. Waktu itu saya berpikir toh saya masih sangat muda, dua puluh empat tahun. Jadi, enjoy aja,” Wanita muda itu menarik napas ringan sebelum melanjutkan.

“Menjelang usia dua puluh lima, datang lamaran lagi dari seorang laki-laki yang cukup saya kenal. Kali ini saya suka. Dia adalah pemuda tipe ideal saya. Maka serta merta saya terima. Tapi ternyata proses ini pun gagal lagi pada akhirnya. Orang tuanya menginginkan dia menikah dengan orang yang sesuku,” suaranya bergetar. Ada jeda kesedihan yang tiba-tiba menyeruak.

”Saya sangat terluka dengan penolakan ini, hingga memilih melarikan diri pada aktifitas sosial yang sangat banyak. Mendampingi anak jalanan, mengadakan berbagai bakti sosial, dan ikut menjadi relawan dalam penanganan bencana-bencana di Jakarta. Saya nyaris tak pernah di rumah. Karena selain aktifitas-aktifitas tadi, aku juga tetap bekerja. Bahkan kemudian saya sangat menikmati aktifitas yang mulanya pelarian ini. Saya seperti menemukan apa yang pernah saya inginkan selama ini.”

Kulihat bara semangat itu pada sorot matanya, pada wajah yang ditegakkannya.

“Di tengah gelora semangat itu, menjelang usiaku dua puluh enam, datang lagi sebuah lamaran. Kali ini dari seorang pemuda shalih yang baik, kalem dan pendiam, meskipun dia bukan aktifis. Seseorang yang belum pernah saya kenals ebelumnya. Saya yang tak mau kehilangan aktifitas yang sedang saya jalani, kembali mengajukan syarat, agar diijinkan tetap beraktifitas seperti semula. Sebenarnya dia tak menghalangi sepenuhnya. Dia hanya mengatakan, boleh saja beraktifitas, tetapi sebagai seorang istri harus mendahulukan kepentingan keluarga dan minta izin suami jika akan keluar rumah. Pernyataan itu saya tangkap sebagai 'larangan' waktu itu. Barangkali karena saya memimpikan mendapat pasangan sesama aktifis, seperti maraknya beberapa teman organisasi yang menikah dengan kalangan sendiri. Hhhh..., ” kali ini si Mbak menarik napas panjang. “Saya menolaknya!” Suaranya kembali tergetar.

“Inilah proses yang paling saya sesali, hingga saat ini. Saya merasa bersalah sekali. Saya merasa sangat kekanak-kanakan. Sebenarnya apa sih yang saya inginkan? Dulu ketika baru lulus, saya beralasan hendak bekerja dulu dan beraktifitas. Itu sudah saya jalani semua. Ketika ada laki-laki biasa melamar, saya bilang saya ingin mendapat mendapat seorang ikhwan, dan kini Allah pun menghadirkannya. Sekarang? Saya menginginkan menikah dengan sesama aktifis yang benar-benar bisa memahami aktifitas publik saya. Sepertinya saya tidak bersyukur dan terus menerus mencari yang seperti saya inginkan saat itu.” Dalam temaram lampu taman, aku dapat melihat kaca di bola matanya. Kugenggam tangannya, memberi kekuatan.

“Kesadaran bahwa pilihan dan sikap saya adalah kekeliruan, muncul tak lama kemudian. Hanya dua bulan setelah dia melamar. Kepada comblang yang mempertemukan kami, saya mengatakan ingin mencoba memperbaiki keputusan yang telah lalu. Namun semua sudah terlambat. Laki-laki itu tak lama lagi akan menikah.” Kaca itu pecah, menjadi butiran-butiran kristal yang mengaliri pipinya.

“Rasa bersalah itu pun kian mendera perasaan. Saya mencoba menebus rasa bersalah itu dengan bersilaturahmi kepada sebanyak mungkin orang. Kepada kaum kerabat yang jarang saya kunjungi, kepada teman-teman lama yang mulai terlupakan karena aktifitas-aktifitas baru saya. Juga kepada guru-guru masa kecil. Saya tak tahu mengapa itu cara yang saya lakukan untuk menebus rasa bersalah, yang pasti saya hanya berharap, silaturahmi-silaturahmi itu dapat menjadi kafarat.” Si Mbak tersenyum lagi. Ada kelegaan tergambar di wajahnya.

“Peristiwa itu membuat saya menjadi lebih dewasa. Saya mulai bersungguh-sungguh mencari pasangan hidup. Saya menghargai setiap tawaran yang datang. Bahkan saya juga minta tolong pada teman-teman untuk mencarikan.” Wajahnya meredup lagi. “Saya tak pernah menolak lagi siapapun yang diajukan kepada saya, baik oleh guru ngaji, lewat teman-teman. Ataupun calon dari orang tua. Namun yang terjadi kemudian adalah bagai karma! Kali ini giliran saya yang terus menerus ditolak. Telah belasan orang dalam tiga tahun terakhir sejak saya menolak lamaran pemuda shalih itu. Bahkan termasuk teman-teman dekat saya sendiri, mereka menolak dengan halus tawaran saya untuk menikah dengan mereka.” Suaranya begitu lirih, tercekat menahan tangis.

“Akhirnya saya merasakan juga sakitnya ditolak. Berkali-kali!” Perempuan itu kini tergugu. Lama. Dia menelungkupkan wajahnya di bangku taman. Aku tak dapat berbuat apa-apa, kecuali mengelus kepalanya yang terbungkus jilbab biru. Waktu terus berlalu dalam keheningan. Hanya isak tangis tertahannya yang terdengar, ditingkahi lolong anjing di kejauhan. Aku tak menghitung berapa lama dia menuntaskan gundahnya sampai kemudian dia bangkit, menuju serumpun shion yang tengah mekar.

“Mungkin orang akan mengatakan, itulah akibat dari menolak-nolak orang. Jadi perawan tua. Itu adalah konsekuensi yang tak hendak saya ingkari. Saya harus menerima predikat itu. Karena memang demikianlah adanya. Dan kini saya mendapatkan sudut pandang yang lain: bisa jadi sikap-sikap saya dulu, dan pilihan-pilihan itu memang sebuah kesalahan.” Dia menghela napas. Tegar.

“Tapi ada satu hal yang saya syukuri. Semua peristiwa itu menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi saya. Sungguh-sungguh berharga. Kini saya tahu seperti apa perihnya ditolak. Kini saya sangat paham, manusia hanya dapat berencana, sedang Allah lah yang Maha Penentu. Kini saya mengerti, sangat mengerti bahwa Allah tahu yang terbaik untuk kita. Apa yang diberikanNya adalah selalu yang kita butuhkan, meski mungkin bukan yang kita inginkan. Kini saya juga jadi lebih dapat menghargai setiap orang. Bahwa siapapun dia, setiap orang selalu memiliki kelebihan dan kekurangan. Penghargaan kita yang tulus padanya akan berbalas perhatian pula.” Wanita itu tersenyum. Kedamaian mengaura pada dirinya.

“Saya tak menyesali apa yang telah terjadi di masa lalu. Saya mungkin kehilangan kesempatan-kesempatan itu, namun saya tidak kehilangan hikmah dan pelajarannya. Barangkali memang harus demikian pergolakan jiwa dan perjalanan batin saya. Barangkali memang ahrus dengan cara itu saya dapat menjadi lebih matang. Kalau waktu itu saya menikah dengan jiwa yang seperti itu, mungkin juga tidak baik hasilnya. Saya mungkin menikah dengan kondisi terpaksa, dan saya tak tahu apa yang akan terjadi pada rumah tangga seperti itu Mungkin saya tak akan pernah mendapat hikmah-hikmah ini. Saya bahagia sekarang karena saya dapat merasakan ketulusan itu. Kini saya sangat siap untuk menerima pasangan hidup, siapapun dia.”

“Bukan! Sama sekali bukan berarti saya banting harga karena saya sudah 30 tahun hingga segala idealita yang dulu digugurkan,” dia buru-buru menambahkan. Seakan-akan takut kalimatnya akan langsung dipersepsikan lain. Saya mengerti karena kebanyakan seperti itu anggapan masyarakat terhadap para wanita lajang yang sudah beranjak lewat dari usia dua puluhan. Mereka seakan berlomba mengobral dirinya agar dapat menikah segera.

“Tetapi karena pengalaman telah mengajarkan saya banyak hal. Tetapi karena saya tidak lagi emosional sekarang. Bukan karena kehilangan idealita. Dan itu membuat saya bisa menerima siapa saja sekarang, karena saya kini mengerti arti sebuah ketulusan. Hingga saya dapat menghargai setiap orang, lebih dan kurangnya. Juga, saya pun tahu dan berlapang dada, jika Allah masih menimpakan akibat dari sikap-sikap saya di masa lalu. Semoga kesadaran ini akan menjadi kafarat dosa-dosa saya.”

Wanita itu kini menatapku lembut. Wajahnya bercahaya tertimpa sinar lampu taman. Dia tersenyum, dengan senyuman bagai rembulan. Aku membalas senyumnya. Sementara angin malam makin menggigit tulang. Bulan sepasi yang menggantung di langit menandakan bahwa tengah malam telah jauh berlalu. Pemandangan puncak di waktu malam makin indah, namun kini tiba saatnya kami harus beristirahat. Hidup harus terus berjalan, dan kami tak boleh terlampau sering menoleh ke belakang, kecuali sekedar mengambil pelajaran. Bukan untuk bersedih atas semua yang telah lalu.

Bergandengan tangan, kami bangkit dan melangkah ke dalam vila yang kami tinggali. Sekali lagi lolong anjing terdengar di kejauhan. Namun itu tak berarti apa-apa. Yang kami punya sekarang tekat, untuk terus memperbaiki diri dan jiwa. Orang muslim yang paling baik bukanlah mereka yang tak pernah berbuat kesalahan. Namun mereka yang tiap kali berbuat kesalahan dia sadar dan berusaha bertaubat kemudian memperbaikinya.

Surga Bernama Keluarga

Malam belum larut saat langkah menapaki teras rumah, perlahan membuka pintu yang belum terkunci berharap orang-orang terkasih di dalam tak terbangun. Ternyata, kehadiran saya senantiasa ditunggu oleh isteri dan anak-anak saya yang rela menahan kantuk untuk sekadar mendaratkan ciuman hangat mereka. Satu persatu dua bidarari kecil itu menubruk tubuh lelahku, hilang semua kantuk mereka bersamaan dengan sirnanya lelahku.

Saya terbaring di sofa dan serta merta anak-anak menyerbu kaki saya untuk melepaskan kaus kaki. Lalu tangan-tangan kecil itu memijat kaki saya, "Capek ya?" Sesaat kemudian tangan kecil itu beralih ke kening, "Pusing ya?". Memang tak seperti pijatan seorang tukang pijat, tapi sentuhan tangan-tangan mungil itu terasa jauh lebih menenteramkan, membasuh peluh dan mengangkat lelahku.

Giliran isteri cantikku datang dengan teh hangatnya, satu kecupan penuh cinta mampir sejenak di keningku. Sambutan yang tak pernah absen dilakukannya semenjak hari pertama pernikahan kami. Sambil menunggu makanan yang tengah dipanaskan, kalimat yang teramat sering saya dengar, "Bagaimana hari ini? Ada masalah? Berbagilah..." Kemudian hati dan kedua telinganya terbuka luas untuk menampung semua keluhku sepanjang hari.

Makanan tersaji, anak-anak ikut mengitari hidangan lesehan khas keluarga kami. Sesekali tangan mungil si bungsu mencomot lauk, sementara si sulung menyeruput teh hangat milikku. Sebenarnya mereka hanya ingin mendapatkan satu kalimat dari saya, "Ya, nanti kita lihat bintang ya". Maka bubarlah mereka dan kembali sibuk dengan mainannya.

Adalah sebuah kenikmatan tersendiri mendengar suara-suara lucu berteriak mengamini bacaan Al-Fatihah saat sholat berjamaah. Biasanya mereka mengikuti bacaan Fatihah maupun surat pendek yang saya baca, lumayan membuat saya terhibur dan tenang berharap mereka lebih menyukai lantunan itu ketimbang lagu-lagu yang banyak diputar televisi.

Beruntung, langit cerah malam itu sehingga kami bisa menggelar tikar di halaman depan. Berempat kami berbaring memandang langit untuk menghitung bintang dan menikmati indahnya rembulan. Kupandang langit penuh bintang bertaburan/ berkelap-kelip seumpama bintang ceria/... senandung itu yang kerap keluar dari mulut mungil kedua bintang kecilku.

Malam telah larut, saatnya saya menemani dua bidadari kecil itu beristirahat. Biasanya, takkan terpejam mata mereka sebelum dua atau tiga dongeng kuhantarkan sebagai pengiring tidur keduanya. Dongeng penuh hikmah yang kan membuai mereka hingga ke alam mimpi. Akhirnya mereka pun tidur dengan wajah berseri, kuduga mereka tengah bermimpi menjadi putri cantik berkereta kencana, berkuda gagah yang siap mengantarkan sang putri menuju istana. Ah, indahnya...

Selanjutnya, adalah waktu bagi sepasang suami isteri untuk berbagi, kasih, cinta, duka, gembira. Bercerita apa pun sepanjang malam, hingga terangkat semua beban hari itu, hingga terobati semua luka, hingga tersingkirkan semua kerikil penghambat, hingga keduanya kembali menjelang pagi dengan hati yang ringan.

***

Pagi belum beranjak, ayam jantan pun belum lama berkokok. Kecupan hangat dan seuntai doa mengiringi langkahku keluar rumah. Sejuta harap dari dua bidadari kecilku agar kembali dengan selamat berjinjing oleh-oleh berupa makanan kecil atau buah kesukaan mereka. Saya sering merasa berdosa ketika melihat wajah kecewa mereka saat mendapati tangan saya tak berbuah apa pun. Mereka sudah hapal dengan jawabanku sehingga mereka pun segera mengambil kesimpulan, "nanti kalau punya rezeki beliin buah ya".

Hidup pun terus berputar, berbaring di sofa menunggu tangan-tangan kecil melepaskan kaus kaki kemudian memijatinya. Segelas teh hangat membasuh penat, dan hati yang terbuka luas siap menampung semua keluh sepanjang hari. Mendengarkan suara-suara lucu dari mulut-mulut mungil mencoba melafazkan doa sehari-hari atau mengeja huruf-huruf Alquran. Berbaring bersama di halaman depan memandangi langit, menghitung bintang dan menikmati indahnya rembulan.

Inilah yang saya sebut surga bernama keluarga. Adakah yang lebih indah dari keluarga?

***

It’s Cool To Be An Akhwat

Akhwat bukanlah syahwat. Akhwat itu sebutan special buat shobat muslimah, TULEN. Akhwat punya kepribadian, yang beda dari wanita lain yang bukan muslimah. Akhwat itu nggak centil-centil amat, hanya kalo sedikit bakat kecentilan sih kadang muncul juga. Nggak ganjen, nggak suka ngelaba, nggak suka lompat-lompat di lapangan basket ‘n panggung yang bisa bikin mata kakek-kakek semakin ‘bundar’. Nggak suka … pacaran. Akhwat itu paling doyan ama yang namanya ‘kajian keislaman dan keilmuan’ atau kajian lain yang bermanfaat bagi ummatnya. Ia selalu menjaga diri dari pergaulan bebas, baik yang ala VIP ataupun ala Siti Nurbaya.

Boring dong jadi akhwat?! Nggak menghargai HAM!. Tapi …, sepertinya ada deh untuk bikin kamu betah jadi akhwat. Yakinlah, It’s cool to be an akhwat. Begini, wanita dalam pandangan Islam adalah makhluk yang memiliki “kekuatan” super power. Bahwa yang menjadi tiang negara adalah wanita, itu sudah semua maklum. Demikian halnya dengan surga yang berada di bawah telapak kaki ibu, dan ibu adalah wanita. Walau sekarang ada ‘ibu jadi-jadian’ dari kaum adam, tapi kita yakin, kalo Si Ember Tessy cs tak akan bisa jadi ibu beneran. Maka dari itu, Islam sebagai agama yang perfect and universal tidak akan menyepelekan masalah yang besar ini (baca: wanita).

Islam memberikan aturan special bagi wanita. ‘Dirancang’ langsung oleh Allah SWT, sebagai Dzat yang menciptakan wanita itu sendiri. Satu dari aturan itu adalah kewajiban menutup aurat, berkerudung dan berjilbab. Sebagaimana firman-Nya:

“... dan hendaklah mereka (wanita-wanita yang beriman) menutupkan kain kerudung (khumur) sampai ke dada mereka.” (QS. An Nur: 31)

“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu,

dan seluruh wanita-wanita mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbab ke tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih dikenal, sehingga mereka tidak diganggu.” (QS. Al Ahzab: 59)

Atau dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, ketika Asma’ binti Abi Bakar masuk ke rumah Nabi SAW dengan pakaian tipis, Rasulullah SAW memalingkan muka seraya bersabda:

“Hai Asma’, jika seorang wanita telah tiba masa haidnya, tidak halal baginya menampakkan badannya kecuali ini dan ini.” Sambil beliau menujuk muka dan telapak tangannya.

So, muslimah tidak akan rela auratnya dilihat oleh laki-laki yang bukan mahramnya. Kalo boleh bisik-bisik massal nih, yang kita miliki ini kan untuk suami tercinta kelak. Bukannya ngomporin cepet-cepet nikah lho. Soalnya aurat wanita itu “berbahaya”. Lebih gawat dari virus I Love You yang bikin pemerintah AS diperkirakan rugi 10 milyar USD. Bill Clinton pun pernah di-impeachment gara-gara aurat wanita. Konon Imam Syafi’i pernah kehilangan separo hafalannya karena melihat aurat wanita secara tidak sengaja.

Apalagi sekarang, wanita gampang membuka aurat dengan alasan gerah, sungkan ama kucingnya, susah dapat honor (eh salah, dapat pekerjaan), susah dapat jodoh, dan seribu satu alasan yang lain. Apa nggak takut kalo sewaktu-waktu ‘Duta Besar’ Allah SWT datang menjemput. Dia tak kenal gencatan senjata, apalagi rekonsiliasi. Kalo udah waktunya, siapapun akan di-persananongrata-kan.

Di akhir obrolan, kita buat kesimpulan. Pertama, seorang akhwat memiliki kedekatan dengan Allah SWT, yang selalu berharap akan ridha-Nya dan selalu takut akan siksa-Nya. Kedua, seorang akhwat memiliki rasa malu yang tinggi. Malu yang dimaksudkan Islam adalah suatu perasaan rendah yang dirasakan seorang di hadapan fitrahnya dan di hadapan Allah SWT, seketika ia condong meninggalkan perintah-Nya. Ketiga, dunia bakalan terang dengan banyaknya akhwat yang punya kehormatan dan jati diri. Karena dunia bakalan goncang, kalo penuh wanita yang ‘hoby’ bikin laki-laki syahwat.

Terakhir, All the beginings are difficult. Memulai adalah pekerjaan yang amat sulit. Tapi tak memulai berarti tak akan pernah dapat. Kita-kita menyampaikan ini bukan karena benci, reseh dan sok mencampuri urusan orang lain. Tapi karena rasa sayang sama sesama, ukhti. Swear! Rangapusi lho aku! Tenan iki! Mosok ga percoyo! Wis lah sumprit tenan aku!

Etika dalam Pergaulan

1. Hormati perasaan orang lain, tidak mencoba menghina atau menilai mereka cacat. 2. Jaga dan perhatikanlah kondisi orang, kenalilah karakter dan akhlaq mereka, lalu pergaulilah mereka, masing-masing menurut apa yang sepantasnya. 3. Mendudukkan orang lain pada kedudukannya dan masing-masing dari mereka diberi hak dan dihargai. 4. Perhatikanlah mereka, kenalilah keadaan dan kondisi mereka, dan tanyakanlah keadaan mereka. 5. Bersikap tawadhu’lah kepada orang lain dan jangan merasa lebih tinggi atau takabbur dan bersikap angkuh terhadap mereka. 6. Bermuka manis dan senyumlah bila anda bertemu orang lain. 7. Berbicaralah kepada mereka sesuai dengan kemampuan akal mereka. 8. Berbaik sangkalah kepada orang lain dan jangan memata-matai mereka. 9. Mema`afkan kekeliruan mereka dan jangan mencari-cari kesalahan-kesalahannya, dan tahanlah rasa benci terhadap mereka. 10. Dengarkanlah pembicaraan mereka dan hindarilah perdebatan dan bantah-membantah dengan mereka. (Dikutip dari Judul Asli Al-Qismu Al-Ilmi, penerbit Dar Al-Wathan, penulis Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz, versi Indonesia Etika Kehidupan Muslim Sehari-hari)

Etika dalam Bercanda

1. Hendaknya percandaan tidak mengandung nama Allah, ayat-ayat-Nya, Sunnah rasul-Nya atau syi`ar-syi`ar Islam. Karena Allah telah berfirman tentang orang-orang yang memperolok-olokan shahabat Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam, yang ahli baca al-Qur`an yang artimya: “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan), tentulah mereka menjawab: “Sesungguh-nya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”. Tidak usah kamu minta ma`af, karena kamu kafir sesudah beriman”. (At-Taubah: 65-66). 2. Hendaknya percandaan itu adalah benar tidak mengan-dung dusta. Dan hendaknya pecanda tidak mengada-ada cerita-cerita khayalan supaya orang lain tertawa. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Celakalah bagi orang yang berbicara lalu berdusta supaya dengannya orang banyak jadi tertawa. Celakalah baginya dan celakalah”. (HR. Ahmad dan dinilai hasan oleh Al-Albani). 3. Hendaknya percandaan tidak mengandung unsur menyakiti perasaan salah seorang di antara manusia. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: “Janganlah seorang di antara kamu mengambil barang temannya apakah itu hanya canda atau sungguh-sungguh; dan jika ia telah mengambil tongkat temannya, maka ia harus mengembalikannya kepadanya”. (HR. Ahmad dan Abu Daud; dinilai hasan oleh Al-Albani). 4. Bercanda tidak boleh dilakukan terhadap orang yang lebih tua darimu, atau terhadap orang yang tidak bisa bercanda atau tidak dapat menerimanya, atau terhadap perempuan yang bukan mahrammu. Hendaknya anda tidak memperbanyak canda hingga menjadi tabiatmu, dan jatuhlah wibawamu dan akibatnya kamu mudah dipermainkan oleh orang lain. (Dikutip dari Judul Asli Al-Qismu Al-Ilmi, penerbit Dar Al-Wathan, penulis Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz, versi Indonesia Etika Kehidupan Muslim Sehari-hari)

Etika dalam Memberi Salam

1. Makruh memberi salam dengan ucapan: “Alaikumus salam” karena di dalam hadits Jabir Radhiallaahu 'anhu diriwayatkan bahwasanya ia menuturkan : Aku pernah menjumpai Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam maka aku berkata: “Alaikas salam ya Rasulallah”. Nabi menjawab: “Jangan kamu mengatakan: Alaikas salam”. Di dalam riwayat Abu Daud disebutkan: “karena sesungguhnya ucapan “alaikas salam” itu adalah salam untuk orang-orang yang telah mati”. (HR. Abu Daud dan At-Turmudzi, dishahihkan oleh Al-Albani). 2. Dianjurkan mengucapkan salam tiga kali jika khalayak banyak jumlahnya. Di dalam hadits Anas disebutkan bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam apabila ia mengucapkan suatu kalimat, ia mengulanginya tiga kali. Dan apabila ia datang kepada suatu kaum, ia memberi salam kepada mereka tiga kali” (HR. Al-Bukhari). 3. Termasuk sunnah adalah orang mengendarai kendaraan memberikan salam kepada orang yang berjalan kaki, dan orang yang berjalan kaki memberi salam kepada orang yang duduk, orang yang sedikit kepada yang banyak, dan orang yang lebih muda kepada yang lebih tua. Demikianlah disebutkan di dalam hadits Abu Hurairah yang muttafaq‘alaih. 4. Disunnatkan keras ketika memberi salam dan demikian pula menjawabnya, kecuali jika di sekitarnya ada orang-orang yang sedang tidur. Di dalam hadits Miqdad bin Al-Aswad disebutkan di antaranya: “dan kami pun memerah susu (binatang ternak) hingga setiap orang dapat bagian minum dari kami, dan kami sediakan bagian untuk Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam Miqdad berkata: Maka Nabi pun datang di malam hari dan memberikan salam yang tidak membangunkan orang yang sedang tidur, namun dapat didengar oleh orang yang bangun”.(HR. Muslim). 5. Disunatkan memberikan salam di waktu masuk ke suatu majlis dan ketika akan meninggalkannya. Karena hadits menyebutkan: “Apabila salah seorang kamu sampai di suatu majlis hendaklah memberikan salam. Dan apabila hendak keluar, hendaklah memberikan salam, dan tidaklah yang pertama lebih berhak daripada yang kedua. (HR. Abu Daud dan disahihkan oleh Al-Albani). 6. Disunnatkan memberi salam di saat masuk ke suatu rumah sekalipun rumah itu kosong, karena Allah telah berfirman yang artinya: “Dan apabila kamu akan masuk ke suatu rumah, maka ucapkanlah salam atas diri kalian” (An-Nur: 61) Dan karena ucapan Ibnu Umar Radhiallaahu 'anhuma : “Apabila seseorang akan masuk ke suatu rumah yang tidak berpenghuni, maka hendaklah ia mengucapkan : Assalamu `alaina wa `ala `ibadillahis shalihin” (HR. Bukhari di dalam Al-Adab Al-Mufrad, dan disahihkan oleh Al-Albani). 7. Dimakruhkan memberi salam kepada orang yang sedang di WC (buang hajat), karena hadits Ibnu Umar Radhiallaahu 'anhuma yang menyebutkan “Bahwasanya ada seseorang yang lewat sedangkan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam sedang buang air kecil, dan orang itu memberi salam. Maka Nabi tidak menjawabnya”. (HR. Muslim) 8. Disunnatkan memberi salam kepada anak-anak, karena hadits yang bersumber dari Anas Radhiallaahu 'anhu menyebutkan: Bahwasanya ketika ia lewat di sekitar anak-anak ia memberi salam, dan ia mengatakan: “Demikianlah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam”. (Muttafaq’alaih). 9. Tidak memulai memberikan salam kepada Ahlu Kitab, sebab Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda :” Janganlah kalian terlebih dahulu memberi salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani.....” (HR. Muslim). Dan apabila mereka yang memberi salam maka kita jawab dengan mengucapkan “wa `alaikum” saja, karena sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam : “Apabila Ahlu Kitab memberi salam kepada kamu, maka jawablah: wa `alaikum”.(Muttafaq’alaih). 10. Disunnatkan memberi salam kepada orang yang kamu kenal ataupun yang tidak kamu kenal. Di dalam hadits Abdullah bin Umar Radhiallaahu 'anhu disebutkan bahwasanya ada seseorang yang bertanya kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam : “Islam yang manakah yang paling baik? Jawab Nabi: Engkau memberikan makanan dan memberi salam kepada orang yang telah kamu kenal dan yang belum kamu kenal”. (Muttafaq’alaih). 11. Disunnatkan menjawab salam orang yang menyampaikan salam lewat orang lain dan kepada yang dititipinya. Pada suatu ketika seorang lelaki datang kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam lalu berkata: Sesungguhnya ayahku menyampaikan salam untukmu. Maka Nabi menjawab : “`alaika wa `ala abikas salam” 12. Dilarang memberi salam dengan isyarat kecuali ada uzur, seperti karena sedang shalat atau bisu atau karena orang yang akan diberi salam itu jauh jaraknya. Di dalam hadits Jabir bin Abdillah Radhiallaahu 'anhu diriwayatkan bahwasanya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian memberi salam seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani, karena sesungguhnya pemberian salam mereka memakai isyarat dengan tangan”. (HR. Al-Baihaqi dan dinilai hasan oleh Al-Albani). 13. Disunnatkan kepada seseorang berjabat tangan dengan saudaranya. Hadits Rasulullah mengatakan: “Tiada dua orang muslim yang saling berjumpa lalu berjabat tangan, melainkan diampuni dosa keduanya sebelum mereka berpisah” (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani). 14. Dianjurkan tidak menarik (melepas) tangan kita terlebih dahulu di saat berjabat tangan sebelum orang yang dibattangani itu melepasnya. Hadits yang bersumber dari Anas Radhiallaahu 'anhu menyebutkan: “Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam apabila ia diterima oleh seseorang lalu berjabat tangan, maka Nabi tidak melepas tangannya sebelum orang itu yang melepasnya....” (HR. At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani). 15. Haram hukumnya membungkukkan tubuh atau sujud ketika memberi penghormatan, karena hadits yang bersumber dari Anas menyebutkan: Ada seorang lelaki berkata: Wahai Rasulullah, kalau salah seorang di antara kami berjumpa dengan temannya, apakah ia harus membungkukkan tubuhnya kepadanya? Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam menjawab: “Tidak”. Orang itu bertanya: Apakah ia merangkul dan menciumnya? Jawab nabi: Tidak. Orang itu bertanya: Apakah ia berjabat tangan dengannya? Jawab Nabi: Ya, jika ia mau. (HR. At-Turmudzi dan dinilai shahih oleh Al-Albani). 16. Haram berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam ketika akan dijabat tangani oleh kaum wanita di saat baiat, beliau bersabda: “Sesung-guhnya aku tidak berjabat tangan dengan kaum wanita”. (HR.Turmudzi dan Nasai, dan dishahihkan oleh Albani). (Dikutip dari Judul Asli Al-Qismu Al-Ilmi, penerbit Dar Al-Wathan, penulis Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz, versi Indonesia Etika Kehidupan Muslim Sehari-hari)

Saturday, September 29, 2007

Indahnya Al-Qur'an

Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma`ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. (QS. 4 : 114) Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mu`min bertawakkal. (QS. 3 : 160)

Mutiara Hikmah ...

Dari Abu Musa al-Asy'ari r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Perumpamaan orang mu'min yang suka membaca al-Quran ialahseperti buah jeruk utrujah, baunya enak dan rasanyapun enak dan perumpamaan orang mu'min yang tidak suka membaca al-Quran ialah seperti buah kurma, tidak ada baunya, tetapi rasanya manis. Adapun perumpamaan orang munafik yang suka membaca al-Quran ialah seperti minyak harum, baunya enak sedang rasanya pahit dan perumpamaan orang munafik yang tidak suka membaca al-Quran ialah seperti rumput hanzhalah, tidak ada baunya dan rasanyapun pahit." (Muttafaq 'alaih)

Life is Easy…

* Ada seseorang saat melamar kerja, memungut sampah kertas di lantai ke dalam tong sampah, dan hal itu terlihat oleh peng-interview, dan dia mendapatkan pekerjaan tersebut. Ternyata untuk memperoleh penghargaan sangat mudah, cukup memelihara kebiasaan yang baik. * Ada seorang anak menjadi murid di toko sepeda. Suatu saat ada seseorang yang mengantarkan sepeda rusak untuk diperbaiki di toko tsb. Selain memperbaiki sepeda tsb, si anak ini juga membersihkan sepeda hingga bersih mengkilap. Murid-murid lain menertawakan perbuatannya. Keesokan hari setelah sang empunya sepeda mengambil sepedanya, si adik kecil ditarik/diambil kerja di tempatnya. Ternyata untuk menjadi orang yang berhasil sangat mudah, cukup punya inisiatif sedikit saja. * * Seorang anak berkata kepada ibunya: "Ibu hari ini sangat cantik. Ibu menjawab: "Mengapa? Anak menjawab: "Karena hari ini ibu sama sekali tidak marah-marah. Ternyata untuk memiliki kecantikan sangatlah mudah, hanya perlu tidak marah-marah. * Seorang petani menyuruh anaknya setiap hari bekerja giat di sawah. Temannya berkata: "Tidak perlu menyuruh anakmu bekerja keras, Tanamanmu tetap akan tumbuh dengan subur. Petani menjawab: "Aku bukan sedang memupuk tanamanku, tapi aku sedang membina anakku. Ternyata membina seorang anak sangat mudah, cukup membiarkan dia rajin bekerja. * Seorang pelatih bola berkata kepada muridnya: "Jika sebuah bola jatuh ke dalam rerumputan, bagaimana cara mencarinya? Ada yang menjawab: "Cari mulai dari bagian tengah." Ada pula yang menjawab: "Cari di rerumputan yang cekung ke dalam." Dan ada yang menjawab: "Cari di rumput yang paling tinggi. Pelatih memberikan jawaban yang paling tepat: "Setapak demi setapak cari dari ujung rumput sebelah sini hingga ke rumput sebelah sana . Ternyata jalan menuju keberhasilan sangat gampang, cukup melakukan segala sesuatunya setahap demi setahap secara berurutan, jangan meloncat-loncat. * Katak yang tinggal di sawah berkata kepada katak yang tinggal di pinggir jalan: "Tempatmu terlalu berbahaya, tinggallah denganku." Katak di pinggir jalan menjawab: "Aku sudah terbiasa, malas untuk pindah." Beberapa hari kemudian katak "sawah" menjenguk katak "pinggir jalan" dan menemukan bahwa si katak sudah mati dilindas mobil yang lewat. Ternyata sangat mudah menggenggam nasib kita sendiri, cukup hindari kemalasan saja. * Ada segerombolan orang yang berjalan di padang pasir, semua berjalan dengan berat, sangat menderita, hanya satu orang yang berjalan dengan gembira. Ada yang bertanya: "Mengapa engkau begitu santai?" Dia menjawab sambil tertawa: "Karena barang bawaan saya sedikit." Ternyata sangat mudah untuk memperoleh kegembiraan, cukup tidak serakah dan memiliki secukupnya saja.