Thursday, December 27, 2007
Kisah Ibnu Mughafal dan Keponakannya
Tauhid dan Rezeki
Pukul lima sore sudah lama berlalu. Maghrib memang masih belum waktunya. Sang artis terkenal itu bergegas menunaikan sholat Ashar. Ada perasaan bersalah yang susah payah ditepisnya. Tapi mau bagaimana lagi? Jadualnya memang padat.
Usai sholat, dia berniat berdoa. Bukan karena ada permohonan khusus, melainkan karena kebiasaan atau refeks saja. Namun ada SMS masuk ke telepon selulernya. Dari managernya. Ada order gede, dan dia diminta segera menemui si Bos. Sekarang, karena tidak ada waktu lagi, dan si Bos sangat sibuk. Sang artis dengan cepat memutuskan untuk membatalkan doanya, menuju kendaraan, dan memacunya. Ia tahu maghrib sudah menjelang. Namun ia memutuskan untuk ‘lihat bagaimana nantilah!’
Di perjalanan, adzan berkumandang. Nuraninya pun menyapa lembut, namun gelisah. Begitu tinggikah penghargaannya kepada si Bos? Sebegitu tingginya sehingga mengalahkan penghargaannya kepada Sang Pemberi Rizki? Demikian gugat sang nurani. Perasaan bersalah mengaliri seluruh jiwanya. Ia tahu, ia harus berubah. Ia juga tahu, ia tidak boleh menunda. Akhirnya ia putuskan, jika bertemu Masjid terdekat ia akan berhenti. Bagaimana janji bertemu si Bos? Biarlah Allah yang mengurus rizkinya. Demikian pikir Sang Artis.
Sang Artis menuturkan pengalaman ini kepada saya, yang mendengarkan dengan ta’zim. Sebenarnya Saya jarang bertemu artis manapun, apalagi artis papan atas. Di sisi lain, Saya sendiri memang tidak pernah berkeinginan untuk bertemu artis manapun.
Namun artis yang satu ini memang berbeda. Ia memiliki semangat untuk membantu syiar keIslaman. Walaupun belum sepenuhnya lepas dari kehidupan glamour, namun keinginannya untuk berbuat sesuatu terhadap Islam memancing simpati Saya.
Akhirnya mereka bertemu. Sang artis bersedia memberikan sedikit tausyiah untuk remaja, dengan bayaran yang nyaris gratis untuk ukuran seorang artis. Dan Sang artis pun menceritakan salah satu pengalaman rohaninya, sebagaimana dikisahkan di awal tulisan ini.
* * * * *
“Sebenarnya kisah Artis tadi adalah salah satu pelajaran tentang ketauhidan”, demikian kata salah seorang Ustadz di Masjid tempat saya tinggal.
“Tauhid? Apakah benar sedalam itu, Ustadz?” tanya saya keheranan.
“Ya, cerita tadi memang kecil dan sederhana, namun hakikatnya sungguh dalam. Cerita tadi adalah salah satu fragment tentang ketauhidan. Betapa tidak. Teori tauhid memang mengajarkan kita untuk meyakini bahwa hanya Allah Yang Maha Pemberi Rizki. Namun implementasi tauhid kita sering kali jauh dari itu.
“Kita masih lebih sering ‘memohon’ kepada atasan atau manusia-manusia lain yang kita anggap dapat mengalirkan rizki kepada kita. Kita juga lebih takut kepada mereka. Juga lebih berharap. Di mata kita, mereka sangat berwibawa dan sangat patut dihormati.
“Untuk itu, kadang-kadang kita rela mengorbankan hal-hal yang sebenarnya prinsip. Menggeser-geser, bahkan meninggalkan sholat, hanya karena harus mengejar deadline tugas yang diberikan oleh si Bos, adalah contoh sederhana namun sering kita temui sehari-hari”, demikian urai Sang Ustadz.
“Gejala lainnya adalah kita jadi sering malas berdoa, karena rasanya ‘kurang konkret’. Jauh lebih konkret bekerja dan ‘memohon’ kepada orang-orang yang ‘memberi’ rizki kepada kita.
“Sholat kita pun jadi kering. Kita tidak sungguh-sungguh merasakan kehadiran Allah di hadapan kita. Karena sebelum sholat kita tidak mempersiapkan jiwa untuk memohon dan meminta. Kita tidak menyiapkan proposal apapun ketika menghadap kepadaNya. Kenapa? Karena kita memang tidak sungguh-sungguh merasa menghadap kepadaNya.
“Bandingkan ketika kita membuat proposal fund raising atau pengumpulan dana kepada donatur atau sponsor. Kita menyiapkan segalanya dengan begitu rapih dan detail. Juga apik dan indah. Itu semua kita lakukan karena besarnya harapan kita terhadap pertolongan calon donatur atau sponsor tersebut. ” Sang Usatdz menjelaskan panjang lebar.
“Kadang-kadang, ketika kantor kita melakukan praktek kecurangan, loyalitas kita kepada kantor atau perusahaan tempat kita bekerja lebih kuat dari pada kepada Allah. ” Tandas Sang Ustadz.
Saya dan beberapa jama’ah lainnya manggut-manggut.
“Tapi bukankah Islam mengajarkan kita untuk bekerja profesional dan sungguh-sungguh?” Salah seorang jamaah mencoba mengklarifikasi.
“Betul sekali. Profesional berarti bekerja sesuai standar dan etika profesi yang bersangkutan. Jika profesinya dokter, bekerjalah sesuai standar dan etika kedokteran. Demikian pula arsitek, teknisi, IT, guru, bahkan mungkin da’i. Dan setahu saya, tak satu profesi pun yang mengajarkan kecurangan dan ketidaketisan”, demikian penjelasan Sang Ustadz.
“Kadang-kadang, saya sengaja menunda waktu sholat, karena pekerjaan belum selesai. Saya merasa lebih profesional jika pekerjaan sudah selesai, baru mengerjakan sholat”, orang tadi masih mencoba menjelaskan argumentasinya.
Sang Ustadz tersenyum. Kemudian menjawab dengan tenang, “Sebenarnya memang tergantung profesinya. Kalau profesi Anda adalah seorang dokter, apalagi dokter bedah, memang tidak bijaksana meninggalkan pasien dengan luka menganga. Walaupun sedapat mungkin kita menjadualkan pembedahan dengan perkiraan tidak melampaui waktu sholat. Namun terkadang hal itu memang sulit dilakukan.
“Ada pula profesi pemadam kebakaran, juga polisi yang sedang dalam operasi menangkap pelaku tindak kriminal. Namun itu semua adalah profesi khusus, sehingga memang perlu perlakuan khusus. Sedangkan yang saya maksud dalam penjelasan di atas adalah profesi yang umum, yaitu orang-orang dengan jadual kerja yang teratur. Jam masuk kantornya jelas, jam istirahatnya pasti, begitu pula jam pulangnya. ”
“Ustadz, adakah contoh lain selain menunda-nunda sholat?” Tanya jama’ah yang lain.
“Ada. Misalnya, enggan membayar zakat, apalagi infaq. Kita tahu, zakat itu sudah jelas ukurannya. Sedangkan infaq itu bebas besarnya. Nah, karena begitu takutnya kita akan kekurangan rizki, kita malas mengeluarkan zakat dan infaq. Tanda bahwa kita malas adalah kita ketika kita tidak menyediakan anggaran khusus atau rutin untuk kedua pos itu.
“Kita tidak begitu yakin dengan janji Allah, bahwa DIA akan mencukupi seluruh kebutuhan kita. Kita takut miskin karena berinfaq.
“Jadi, semuanya kembali berakar kepada ketauhidan”, jelas Sang Ustadz.
“Nah, mulai sekarang, bersegeralah setiap kali ada SMS atau calling dari Allah, ” demikian Sang Ustadz mengakhiri penjelasannya, sambil tersenyum.[eramuslim.com]
Masuk Islamnya Abu Bakar Ash-Shiddiq RA
HIKMAH IBADAH QURBAN
Written by Al Ustadz Drs. Ahmad Sukina Ketua Umum MTA Umat Islam seluruh dunia dalam beberapa hari mendatang akan merayakan hari Iedul-Qurban. Para jama'ah haji sibuk dengan ritual melempar Jamarat setelah sehari sebelumnya wuquf di padang Arafah. Pada saat para jama'ah haji wuquf di padang Arafah, mereka yang tidak berkesempatan untuk menunaikan ibadah haji disunnahkan untuk melaksanakan puasa sehari di hari Arafah (9 Dzulhijjah) dan menyembelih hewan qurban pada Iedul-Qurban (10 Dzulhijjah).
Ibadah qurban pada hakekatnya mengikuti sunnah keluarga besar nabi Ibrahim as keluarga tauhid yang lurus yang telah memberikan contoh sempurna dalam menghambakan diri kepada Allah. Ada beberapa hikmah keteladan yang perlu kita fahami. Yang pertama dari Hajar, istri nabi Ibrahim, kita dapat belajar keikhlasannya dalam mengorbankan putra satu-satunya yang tercinta, setelah sekian lama bersusah payah dalam mengandung dan melahirkan, dilanjutkan dengan berbagai kesusahan untuk mempertahankan hidup putranya yang ditinggal suaminya di tengah padang pasir yang kering kerontang. Ibu mana yang hidup di jaman modern ini yang akan merelakan anaknya disembelih suaminya yang katanya atas perintah Allah. Hajar, yang karena keimanannya yakin betul bahwa suaminya tidak akan menyalahi perintah Allah, merelakan anaknya disembelih untuk memenuhi seruan Allah. Keikhlasan Hajar dalam mengorbankan putranya dapat dijadikan teladan bagi para ibu dalam menumbuhkan jiwa berkorban.
Dari Isma'il sendiri kita dapat belajar bagaimana seorang anak muda karena keimanannya rela mengorbankan nyawanya karena Allah. Ketika ayahnya menyampaikan kepadanya perintah Allah untuk menyembelihnya, Isma'il menjawab (QS 37: 102): Ya abatif'al ma tu'maru satajiduni insya Allahu minashshabirin. ("Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".) Subhanallah, andaikan perintah itu disampaikan kepada anak muda jaman sekarang mungkin ayahnya sudah dituduh gila. Bahkan bukan tidak mungkin ayahnya terlebih dahulu akan dibunuh oleh anaknya. Hanya orang-orang yang mempunyai keimanan dengan landasan tauhid yang kuat yang rela mengorbankan nyawanya karena Allah. Sikap seperti inilah yang mestinya diteladani oleh setiap orang beriman.
Nabi Ibrahim as, nabi yang terkenal karena kelurusan tauhid dan kecerdasan akalnya, telah membenarkan perintah Allah untuk menyembelih anaknya. Dia tidak pernah mempersoalkan perintah yang nampak tidak masuk akal itu dan tidak pernah meragukannya. Dia korbankan kecerdasan akalnya untuk mendahulukan perintah Allah. Di jaman modern manusia terjebak kepada pendewaan akal. Sains dan teknologi seolah muncul sebagai kekuatan baru yang dipertuhan. Padahal semua itu adalah makhluk Allah. Allah telah menciptakan sunnatullah yang memungkinkan manusia untuk mengembangkan sains dan teknologi. Manusia mestinya memanfaatkan akal, sains dan teknologi untuk menghambakan diri kepada Allah. Bukan justru sebaliknya berbuat syirik, menuhankan akal, sains dan teknologi disamping Allah. Sikap nabi Ibrahim as yang mendahulukan wahyu dari pada akal tersebut tetap relevan untuk dijadikan teladan dalam kehidupan di abad modern ini.
Qurban yang kita laksanakan selama ini yakni dengan menyembelih hewan qurban dan membagikannya kepada keluarga, orang-orang fakir dan orang-orang yang meminta lebih bermakna simbolis. Besar qurban yang kita keluarkan tidak seberapa jika dibandingkan dengan pengurbanan yang dilakukan oleh keluarga besar nabi Ibrahim as. Dengan memahami ilmu dan mengikuti keteladannya kita berharap untuk dapat mewarisi sikap mendahulukan Allah dari pada yang lain. Disamping itu dengan melaksanakan ibadah qurban ini diharapkan akan tumbuh jiwa kedermawanan dalam diri setiap orang yang berqurban. Kedermawanan ini sangat peting dalam mendukung kesuksesan dakwah Islam. Maka pantas kalau Rasulullah saw bersabda bahwa tidak ada amal anak Adam yang paling disukai Allah pada hari raya qurban selain daripada menyembelih qurban. (HR Ibnu Majah dan Tirmidzi) Mari kita berqurban dan meluruskan niat dalam berqurban.
Ah, Itu Kan Cuma Dosa Kecil!
“Ah, itu kan cuma dosa kecil, Mas!”
Ungkapan seperti ini sering terdengar. Entah di lingkungan sekitar rumah, di warung-warung, atau di kalangan pekerja kantoran. Apa yang mereka sebut dosa kecil? Menurut pengalaman saya, gurauan atau candaan yang menyerempet porno sering dianggap hal kecil, dan bumbu dalam pergaulan. Selain itu, yang juga cukup sering dianggap enteng adalah gosip, entah ghibah ataupun namimah.
Sebenarnya, apakah ukuran suatu dosa itu dianggap kecil atau besar? Saya mendiskusikan hal itu dengan jamaah Masjid di dekat rumah.
Salah seorang jamaah menjawab dengan membacakan hadist berikut: “Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, Shalat lima waktu, dari (shalat) Jumat ke (shalat) Jumat yang lain dan dari (puasa) Ramadhan ke (puasa) Ramadhan yang lain adalah penghapus dosa-dosa kecil di antara waktu-waktu tersebut selama tidak melakukan dosa besar” (HR Muslim no. 233).
Ada pula firmanNya, yang berarti, "(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil" (QS: An Najm: 32).
“Jadi, intinya, ” lanjut salah satu jamaah tadi, “Allah dan RasulNya sendiri yang sudah melakukan pembagian dosa besar dan dosa kecil ini. ”
“Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dosa besar adalah setiap dosa yang diancam dengan siksa khusus seperti berzina, mencuri, durhaka kepada kedua orangtua, menipu, bersikap jahat kepada kaum muslimin dan lainnya”
“Lalu, bagaimana dengan dosa kecil?” Tanya saya.
Jamaah yang lain menjawab, “Dosa jenis ini terjadi karena sulit bagi kita untuk menghindarinya. Terkadang kita melakukannya pun tanpa sadar. Misalnya, ketika harus berdesak-desakkan di bus atau Kereta, dan tanpa sengaja harus bersentuhan dengan lawan jenis. Kata kunci di sini adalah tanpa sengaja. ”
“Bagaimana kalau sengaja?” Tanya jamaah lainnya, “Apakah masih bisa dianggap dosa kecil?”
Ada yang menjawab, “Para ulama, tentu berdasarkan dalil-dalil, sepakat bahwa besar kecilnya dosa pada dasarnya ditentukan bukan semata-mata dari jenis pekerjaannya. Di sini berlaku ungkapan, bahwa tidak ada dosa kecil selama si pelaku mengangagap remeh dosa tersebut.
“Misalnya seorang laki-laki memandang wanita dan ini adalah zina mata, namun zina mata lebih kecil dari zina kemaluan. Tapi dengan melakukannya terus-menerus maka dia akan menjadi besar. Sebab tidak ada dosa kecil kalau dilakukan terus-menerus, sebagaimana dikatakan seorang salaf: 'Tidak ada yang namanya dosa kecil kalau dilakukan terus-menerus dan tidak ada dosa besar apabila diiringi dengan taubat."
“Dosa kecil pun dapat menjadi besar jika si pelaku justru merasa bangga dengan kelakuannya tersebut. Perasaan bangga gembira dan senang terhadap dosa, menjadikan dosa tersebut menjadi besar. Ketika rasa senang kepada dosa kecil sudah mendominasi diri seseorang, maka menjadi besarlah dosa kecil tersebut, dan besar pula pengaruhnya untuk menghitamkan hatinya. Sampai-sampai ada yang merasa bangga karena bisa melakukan sebuah dosa, padahal kegembiran pada sebuah dosa lebih besar dari dosa itu sendiri. Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. 24:19)
“Misalnya seperi orang yang berkata: Tidakkah kamu tahu bagaiman aku membuntuti fulan dan berhasil melihatnya atau ucapan-ucapan dan perbuatan lainnya yang menunjukkan sikap bangga dan senang atas perbuatan dosa. Maka semua itu menjadikan dosa yang semula kecil menjadi besar.
“Sikap santainya dalam melakukan dosa, tidak adanya rasa takut kepada Allah SWT dan pengawasan-Nya. Perasaan aman dari siksa Allah SWT adalah gambaran dari menyepelekan tabir Allah SWT. Dia tidak sadar bahwa perbuatannya itu mendatangkan murka Allah SWT. Ibnu Abbas r. A. Berkata: Wahai orang yang berdosa, jangan merasa aman dari akibat buruknya. Tatkala suatu dosa diikuti oleh sesuatu yang lebih besar dari dosa, jika kamu melakukan dosa, tanpa merasa malu terhadap pengawas yang ada di kanan kirimu, maka kamu berdosa, dan menyepelekan dosa itu lebih besar dari dosa itu sendiri, …, kegembiraanmu dengan dosa ketika kamu sudah melakukannya, itu lebih besar dari dosa itu sendiri, kesedihanmu atas suatu dosa ketika ia lepas darimu (tidak dapat melaksanakannya), maka itu lebih besar dari dosa itu sendiri. Kekhawatiranmu terhadap angin ketika ia menggerakkan daun pintumu pada saat kamu sedang melakukan dosa serta hatimu tidak pernah risau dengan pengawasan Allah SWT kepadamu, maka itu lebih besar dari dosa itu sendiri."
Saya dan jamaah lainnya mengangguk-angguk. Penjelasan tersebut sudah cukup panjang. Namun ternyata masih ada kelanjutannya.
“Contoh lainnya adalah seseorang yang melakukan dosa dengan terang-terangan di depan umum atau dengan menceritakannya kepada orang lain padahal jika ia tidak menceritakannya orang lain tidak ada yang tahu, kecuali dia dengan Rabbnya. Dengan sikap ini berarti ia telah mengundang hasrat orang lain untuk melakukan dosa tersebut dan secara tidak langsung ia telah mengajak orang lain untuk ikut melakukannya. Dalam hal ini ia telah melakukan dua hal sekaligus yaitu dosa itu sendiri ditambah mujaharahnya, sehingga dosanya pun menjadi besar.
Rasulullah SAW bersabda, "Setiap umatku dapat diampuni dosa-dosanya kecuali orang yang mengekspos dosa-nya. Contoh dari mengekspos dosa adalah seorang yang melakukan dosa di malam hari, kemudian pada pagi harinya, padahal Allah SWT telah menutupi dosanya, ia mengatakan: Wahai fulan, tadi malam saya telah melakukan demikian dan demikian. Di malam hari Allah SWT telah menutupi perbuatan dosanya, namun di pagi harinya justru ia sendiri yang menyiarkannya." (HR: Bukhari 5721, Baihaqi 17373, Dailami 4795)
Semua akhirnya terdiam. Mereka sibuk menghitung jejak dosa masing-masing. Jejak dosa yang menyebabkan mereka terhijab dari Allah.
Allah, yang sesungguhnya dekat, jadi terasa jauh, karena terhijab oleh kesalahan dan kelalaian kita sendiri. [eramuslim.com]
Ratusan Ulama Sampaikan "Pesan" Natal Pada Umat Kristiani
Menjelang hari Natal, 138 ulama Muslim kembali menandatangani pernyataan bersama yang dikirimkan ke para pemuka agama Kristen di seluruh dunia, termasuk pemimpin tertinggi umat Katolik Paus Benediktus XVI.
Dalam pernyataan itu, mereka menyampaikan ucapan selamat merayakan hari Natal dan rasa terima kasih mereka karena kalangan pemuka Kristen telah memberikan respon positif atas surat terbuka mereka pertama, yang kirim pada Oktober lalu.
Dalam surat terbuka tersebut, para ulama Muslim menawarkan dialog atas berbagai persamaan yang terdapat dalam ajaran Islam dan Kristen, guna menjembatani jurang pemisah antara pemeluk kedua agama tersebut.
Financial Times edisi Sabtu (22/12) mengutip pernyataan Profesor Aref Ali Nayed-salah seorang yang ikut menandatangani pernyataan tersebut-yang mengatakan, "Untuk pertama kalinya, ulama Muslim dalam jumlah yang cukup besar dan berasal dari berbagai lembaga pendidikan mengucapkan selamat hari Natal bagi umat Kristiani. "
Menurut Nayed, media massa selama ini selalu memfokuskan liputannya pada masalah ekstrimis dan melupakan pesan toleransi serta perdamaian yang diajarkan dalam Islam. "Ini mengakibatkan munculnya gambaran Islam yang diselewengkan dan diputarbalikkan, " ujarnya.
Di antara ulama yang ikut menandatangani pernyataan itu adalah Mufti Mesir Ali Gomaa dan Mufti al-Quds Syaikh Ikrima Sabri, serta Sekjen Organisasi Konferensi Islam Ekmeleddin Ihsanoglu.
Pemuka Kristen menyambut positif sikap ratusan ulama Muslim ini. Jean-Louis Tauran, kepala dewan dialog antar agama kepausan Vatikan pada Financial Times menyatakan, hal ini merupakan langkah maju dari dialog yang sedang diupayakan antara keduabelah pihak, Islam dan Kristen. Menurut Tauran, pertemuan untuk persiapan dialog antara kedua keyakinan ini akan dilakukan pada musim semi yang akan datang.
Sementara itu, seorang pakar teologi Miroslav Volf menilai langkah yang dilakukan 138 ulama Muslim itu sebagai pertanda bahwa ada keinginan untuk meredakan ketegangan antara umat Islam dan Kristen setelah pernyataan Paus Benediktus beberapa waktu lalu yang mengatakan bahwa Islam adalah agama kekerasan.
Namun menurut Nayed yang pernah mengajar di Universitas Gregorian, Vatikan, sejumlah penasehat yang dekat dengan Paus ikut berperan memicu ketegangan antara kalangan Muslim dan Kristiani. "Dampak negatifnya sangat berbahaya dan membawa Vatikan untuk melakukan kesalahan yang berbahaya pula, " tukasnya. (ln/iol)
Umat Kristen: Bukan Hamas, Tapi Israel yang Merusak Semangat Natal di Ghaza
Umat Kristen di Jalur Ghaza mengungkapkan kebahagiannya, meski Jalur Ghaza kini dikuasai penuh oleh Hamas, mereka bisa merayakan natal dengan damai, tanpa adanya tekanan maupun tindakan diskriminatif dari kelompok Hamas.
Warga Kristen di Ghaza, bahkan menyatakan tidak menggelar perayaan natal yang berlebihan sebagai bentuk solidaritas mereka terhadap warga Muslim di Ghaza yang sedang mengalami penindasan baik dari dunia internasional maupun dari pemerintahan otoritas Palestina sendiri.
"Saya bisa saja meminta izin pada Perdana Menteri Ismail Haniyah untuk menggelar perayaan natal yang meriah dan meminta menteri dalam negeri untuk memberikan bantuan pengamanan, tapi kami memutuskan untuk tidak melakukan itu, " kata Monsignor (gelar untuk pendeta Katolik Roma-red) Manuel Mussalam, ketua komunitas Katolik Roma di Ghaza.
Mussalam justru mengungkapkan kesedihannya atas agresi yang dilakukan pasukan militer Zionis Israel ke Ghaza, yang telah mengganggu kekhidmatan perayaan natal umat Kristiani di wilayah itu.
"Setiap ada yang meninggal dunia, terluka dan menjadi tawanan Israel. Pada hari raya Idul Adha, warga Muslim banyak yang menjadi martir dan ini sangat menyedihkan, kami tidak bisa mengabaikan bagaimana sedihnya perasaan mereka, " kata Mussalam prihatin.
"Kegembiraan warga Muslim, kegembiraan kami juga. Kesedihan mereka, kesedihan kami juga. Kami mengalami krisis yang sama dan kami punya tujuan yang sama, " sambungnya.
Mussalam mengungkapkan, seorang menteri asal Hamas, Dr Basem Na'eem adalah orang pertama yang menyampaikan ucapan selamat padanya dan warga Kristen di Ghaza pada hari Natal.
"Kami betul-betul merasakan kebebasan beribadah di bawah pemerintahan Hamas. Saya tidak pernah menerima keluhan apa pun dari umat Kristiani di Ghaza, tentang pemerintahan Hamas, " tambah Monsignor Mussalam.
Pernyataan Mussalam dibenarkan oleh Attala, warga Kristen di Ghaza yang berprofesi sebagai dokter. "Kami tidak punya masalah karena Hamas. Kami merasakan persaudaraan dan toleransi antar umat beragama di sini, di Ghaza, " tukas Attala.
Warga Kristen lainnya, Simon Tarazi juga menyatakan bahwa ia tidak pernah mengalami perlakuan diskriminatif dari orang-orang Hamas. "Saya tidak pernah merasa diganggu atau dilecehkan oleh warga Muslim, " ujar Tarazi.
Sementara itu, Basem Ayyad mengaku kehidupannya lebih baik di bawah pemerintahan Hamas. Ayyad masih ingat bagaimana otoritas Hamas membantunya membayarkan uang yang ia pinjam dari seseorang.
Meski demikian, umat Kristiani merasakan natal tahun ini kurang bersemangat karena situasi ekonomi yang lesu akibat embargo ekonomi Israel dan dunia internasional terhadap wilayah Ghaza.
Ibrahim Ajab, penjual hiasan natal di Ghaza mengaku barang dagangannya tidak begitu laku pada natal tahun ini. Sedangkan Attala yang berprofesi dokter mengeluhkan ketiadaan obat-obatan untuk para pasiennya di rumah sakit.
"Bagaiamana kami bisa merayakan natal disaat kami tidak mendapatkan obat-obatan untuk para pasien, dan banyak pasien yang tidak dizinkan berobat ke luar Ghaza, " tandas Attala.
Ia melanjutkan, "Sebagai umat Kristiani, kami tidak pernah bermasalah dengan Hamas. Sumber bencana sesungguhnya di sini (Ghaza) adalah penjajahan rejim Israel. "
Data Biro Statistik Palestina menyebutkan, jumlah warga Kristen di Ghaza sekitar 3. 000 orang dari 1, 5 juta total penduduk Ghaza. (ln/iol-eramuslim.com)